Akhirnya, suara petikan gitar pun
mulai terdengar. Tak lama suara riuh tepuk tangan pun menyambut. Terdengar juga
teriakan-teriakan dari penonton. Lantunan musik terdengar begitu lembut, begitu
tenang, begitu damai. Di kafe ini, aku duduk, sendiri. Meja-meja bundar, dan
kursi-kursi yang menghadap pada panggung ramai diduduki pengunjung kafe Poet Castle Coffe. Aku duduk di paling belakang dengan
kursi-kursi yang masih kosong. Hanya di mejaku, dua kursi tak ada yang
menduduki. Dan hanya kali ini aku duduk sendiri.
Sesuai dengan namanya, kafe ini
merupakan kafe kopi yang satu-satunya di Kotaku menyajikan penampilan pembacaan
puisi atau musikalisasi puisi. Yang tampil biasanya seorang sastrawan nasional
ataupun lokal, atau pengunjung yang ingin mengekspresikan diri lewat
puisi-puisi yang ia buat sendiri.
Riuh tepuk tangan terdengar lagi, teriakan-teriakan
pengunjung pun semakin menggema ruang kafe. Satu tembang musikalisasi telah
berakhir. Seorang pengunjung berjalan menuju panggung dengan secarik kertas dilengannya.
Seorang perempuan, berambut panjang dengan pita merah, bergaun putih.
Aku teringat pada seseorang. Dia yang
pertama-kali mengajakku kesini. Seorang perempuan, cantik, begitu cantik. Dulu,
aku duduk bersamanya di meja paling depan. Hanya aku dan dia duduk di meja itu.
Dia memesankan dua secangkir kopi, sama seperti kopi yang aku teguk malam ini, white coffe. Sama seperti malam ini juga,
setelah penampilan musikalisasi puisi selesai, seorang pembawa acara menawarkan
kepada pengunjung untuk menampilkan sebuah karya sastra, puisi.
“Ok! Baru saja kita
mendengarkan sebuah lantunan musikalisasi puisi. Dan.... selanjutnya, apa ada
yang mau memberikan puisi-puisinya dimalam ini?” suara pembawa acara—seorang laki-laki—terdengar
keras, menghentikan sejenak seorang yang sedang meneguk kopi atau seseorang yang
sedang mengobrol dengan temannya. Membuat ruangan kafe sunyi senyap.
Tak kusangka, seorang
yang mengajakku ke kafe ini melambaikan tangan mungilnya ke udara dengan riang,
penuh senyuman, bersijingkrak.
“Ok! Ada seorang gadis
yang melambaikan tangan di meja depan. Mari kesini, cantik!” kata pembawa acara
itu. Pengunjung kafe semuanya melirik ke mejaku. Mereka bertepuk-tangan sangat
meriah. Seseorang yang membawaku ke kafe ini sedang mengambil sesuatu di dalam
ranselnya. Akhirnya, dia dapatkan buku diary
di dalam ranselnya.
“Aku kedepan duluh, ya. Aku
buatkan puisi untukmu dan aku ingin membacakannya disini,” katanya lembut dan
riang. Aku hanya mengangguk, tersenyum, dan malu. Akhirnya dia berjalan, menaiki
tiga tangga untuk menghampiri pembawa acara.
“Ok, cantik, siapa
namamu?”
“Diana.”
“Diana? Indah sekali
namamu...” Diana tersenyum, “...Kamu mau membacakan puisi? Baiklah,silahkan.” Pembawa
acara itu memberikan mik-nya kepada Diana.
“Selamat malam. Pada malam
ini, aku ingin membacakan sebuah puisi yang aku buat sendiri. Puisi ini aku
buat untuk seseorang yang special. Seseorang
yang sedang duduk disana,” Diana menunjukan tangannya ke arahku. Pengunjung pun
melirikan matanya kehadapanku. Aku merundukan kepala, dan menatap kembali wajah
Diana dengan senyuman. Diana membalas senyumanku dengan senyumannya yang
mempesona.
Diana mulai membacakan
puisinya. Suaranya lembut dan indah di dengar. Puisi yang dibuatnya dan
dibacakan malam itu sukses membuatku senang dan bahagia. Tak bisa aku lupakan
pada malam itu.
Pada kala itu, di kafe
ini, aku merasakan kegembiraan, bahagia. Semenjak itu pula, aku sering
mengunjungi kafe ini bersamanya. Tapi tidak untuk malam ini.
Riuh tepuk tangan
terdengar kembali. Aku pun sudah menghabisakan White Coffe yang aku pesan. Seorang
perempuan berambut panjang dengan pita merah dan bergaun putih turun dari panggung.
Pembawa acara memasuki panggung.
“Ok! Telah kita saksikan
tadi seorang perempuan bergaun putih membacakan puisi. Dan sekarang, apa ada
lagi yang akan menyumbangkan puisinya disini?” Pembawa acara melirik
setiap pengunjung. Tidak ada lagi yang melambaikan tangan.
“Baiklah, kalau tidak ada
lagi yang akan menyumbangkan puisi, mari kita saksikan musikalisasi puisi
dari....” pembawa acar menghentikan pembicaraanya, “.... Maaf, sepertinya ada
seseorang yang berdiri dan melambaikan tangan. Ya! Seorang lelaki yang di
belakang sana, kemarilah!”
Ya, itu adalah aku. Aku segera
berjalan menuju panggung dengan secarik kertas. Berjalan melewati meja-meja
bundar, dan pengunjung yang sedang duduk melirik dan menatapku. Mereka bertepuk
tangan.
“Ok! Dipanggung ini ada
seorang lelaki, siapa namamu?” pembawa acara itu mendekatkan mik-nya kedepan
mulutu.
“Candra, Candra Ningrat. Aku
akan membacakan sebuah puisi.” Pembawa acara itu menarik mik-nya kembali.
“Baiklah! disini ada
Candra yang akan membacakan sebuah puisi.” Terdengar tepuk tangan dan teriakan.
Pembawa acara memberikan mik-nya kepadaku.
“Selamat malam. Pada malam
ini, aku akan membacakan sebuah puisi. Puisi ini bukan hasil dari karyaku. Puisi
ini aku dapatkan dari seseorang yang sangat Special.
Seseorang yang dulu mengajakku ke tempat ini. Dulu, di kafe ini, di
panggung ini, ia membacakan puisi. Tapi, ia sudah tidak ada....,” suaraku mulai
mengecil, menggumam. Ruang kafe ini begitu sunyi senyap, pengunjung terbawa
suasana haru. “...Ia tidak lagi menemaniku meneguk kopi di kafe ini. Mendengarkan
puisi atau musikalisasi puisi di meja depan panggung berdua lagi.
Dia yang mengajariku membuat
puisi yang puitis. Dia yang mengajariku membaca puisi yang romantis. Tapi apalah
semua itu kalau ia tidak ada lagi disini? Ia sudah pergi, dan tak akan kembali
lagi. Tapi, ia meninggalkan secarik puisi yang kini aku pegang saat ini. Puisi ini,
yang ia buat, aku persembahkan di panggung ini untuk kau, Diana.”
Terdengat tepuk tangan
begitu sangat pelan. Lalu, Aku bacakan puisi itu.
Pada Suatu Hari Nanti*
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi diantara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap ku siasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau tak akan letih-letihnya ku cari
“Itulah secarik puisi yang
aku dapatkan saat terakhir aku bertemu dengannya. Terimakasih.”
Tepuk tangan begitu
sangat terdengar kencang. Aku menuruni tiga tangga dan meninggalkan panggung
itu.
*Puisi Sapardi Djoko Damono