Aku ceritakan tentang Aku dan Ku.
Egoku sedang berhasrat untuk mengkacau-balaukan pikiranku. Bernafsu untuk
mengalahkan Aku yang kini sedang berada dalam jurang. Aku berjalan menuju
ketinggian, ke puncak pengasingan dan Aku terperosok kejurang. Benar! Bukan
ketinggian, tapi jurang yang menakutkan. Aku harus menciptakan kembali
sayap-sayap yang kini sudah hancur berkeping-keping. Dan terbang menuju
ketinggian menggapai bintang. Aku harus berusaha mengalahkan ego yang kini
menjadi musuh terbesarku. Aku harus jadikan egoku sebagai kehendakku, bukan
kehendakku sebagai egoku.
Ketika Aku sudah menaklukan Ku,
Aku harus mengendalikan angin. Angin yang berhembus perlahan bisa menjadi
badai. Ini sangat membahayakan, kalau-kalau ada petir yang ikut berperan dan
membuat situasi bergemuruh dan hujan pun menyerang dengan sangat marah membuat
sayap-sayap ini tak bisa kembali bergerak. Angin yang mengerikan. Aku harus
berteman dengan angin agar sayap-sayap ini bisa mengibas-ngibaskan dengan
bebas. Terbang melayang di udara, di ketinggian. Aku sekarang tidak bisa
melihat, pandanganku terhalang oleh awan atau kabut yang tebal. Ketika aku
berada di ketinggian aku kehilangan kemanusiaanku. Kebebasanku merenggut
nuraniku.
Saat Aku sedang asik terbang
dengan bebas di ketinggian, terdengar jerit pesakitan di bawah sana. Suaranya
begitu keras, merintih, menderu-deru kesakitan. Aku hanya bisa mendengar tapi
tak bisa lagi melihat. Nuraniku memanggil kemanusiaanku: Aku harus turun ke
lembah.
Aku patahkan sayap-sayap kebebasanku
dan meninggalkan ketinggianku, yang kubutuhkan adalah kaki—kuat dan kokoh.
Menarilah kaki-kakiku, jangan lupakan kepalamu agar kau bisa menari lebih
indah. Kini aku kembali berjalan di lembah dan melupakan puncak ketinggian.