“Sejarah tidak akan pernah ada tanpa
adanya sastra, sastra tidak akan
terwujud tanpa adanya bahasa, bahasa tidak akan pernah ada tanpa adanya
manusia. Manusia merupakan mahluk yang membutuhkan ketiga hal ini untuk menunjukan
eksistensinya dimuka bumi”
Aku balikan selembar kertas yang bertuliskan The Philosophy of Name, Kemudian,
mulailah aku membaca dari bab I berjudul: Tentang
Sebuah Ketertarikan.
Keseharianku tak lepas dari membaca
buku. Banyak sekali buku yang aku miliki dirumah. Mungkin ada sekitar seribu
buku, hanya saja aku tak hitung semuanya. Terkadang aku baca buku
diperpustakaan umum. Namun, akhir-akhir ini aku tak pernah mengunjungi perpustakaan
umum lagi. Itu karena aku sudah di cap sebagai pencuri buku. Yang terakhir,
yang ketiga kali, saat aku ketahuan mengambil buku, aku dihukum oleh pihak
perpustakaan dengan sanksi membersihkan rak-rak buku. Butuh seminggu untuk
membersihkan semua buku-buku di rak.
Mungkin ada sekitar seratus buku yang
aku ambil dan hanya tiga kali aku ketahuan. Buku-buku yang aku ambil kebanyakan
buku-buku kuno. Aku kesal dengan perpustakaan ini, buku itu tujuannya untuk
dibaca agar pembaca mengetahui isi dari buku tersebut. Akan tetapi, buku itu
hanya menjadi pajangan dietalase-etalase seperti di museum. Bagaimana kita tahu
isi buku itu kalau hanya dilihat dari tampilan luar buku itu saja. Aku terpaksa
mengambil buku kuno itu karena aku butuh isinya. Soal bukunya itu tidak
penting, buku itu hanyalah lembaran kertas, yang terpenting adalah isinya.
Katanya buku itu adalah jendelanya dunia
dan kuncinya adalah membaca. Bagaimana kita bisa membaca kalau jendelanya
terkunci, ya harus bagaimana lagi, kita dobrak saja. Biasanya, buku yang aku
ambil dari perpus itu aku kembalikan lagi kalau aku sudah tahu dan aku pelajari
isi dari buku tersebut. Hanya saja, sebelum aku ketahuan mengambil buku, mereka
sudah menyadarinya terlebih dahulu. Semua petugas perpustakaan mengenal aku, karena
mereka tahu betul bagaimana ulahku diperpus. Aku selalu dicurigai dan dipantau
saat aku berada di dalam perpus. Ini membuat aku tidak nyaman untuk membaca.
Akhirnya aku memutuskan untuk tidak ke perpus dulu.
Studi bahasa, sejarah dan sastra
merupakan bagian daripada hidupku. Kau tahu? Sejarah tidak akan pernah ada
tanpa adanya sastra, sastra tidak akan
terwujud tanpa adanya bahasa, bahasa tidak akan pernah ada tanpa adanya
manusia. Manusia merupakan mahluk yang membutuhkan ketiga hal ini untuk menunjukan
eksistensinya dimuka bumi. Dengan bahasa, manusia berhubungan dengan sesamanya,
sastra sebagai medianya dan sejarah merupakan hasilnya. Sudah barang tentu
manusia merupakan mahluk sosial. Kalau bukan, mungkin manusia tak memerlukan
bahasa.
Seperti burung dalam sangkar, begitulah
aku. Seorang yang dipaksakan menjadi orang lain; dipaksakan
memakai topeng. Topeng ini menghalangi gerakanku, bahkan akan
mengaburkan pandanganku. Aku menjadi seorang wayang dan bertingkah laku seperti
topeng yang aku kenakan. Tapi, topeng ini tidak mengubah jatidiriku. Jatidiri
tidak akan berubah oleh apapun. Topeng ini akan aku lepaskan ketika panggung
sandiwara telah selesai dan aku kenakan kembali ketika memulai pertunjukan.
Aku dikuliahkan oleh orangtuaku agar
menjadi seorang politisi sepertinya. Mereka merebut kebebasanku. Tetapi tidak
untuk pemikiranku. Burung yang terjebak dalam sangkar dapat menggunakan
paruhnya untuk dapat bebas dan terbang dilangit luas. Mengepakan sayap-sayapnya
dan merasakan udara kebebasan. Mereka tidak akan tahu keadaanku bagaimana,
mereka tidak peduli, dalam pikiran mereka hanyalah aku yang akan meneruskan
kedudukannya. Lebih baik aku pergi dan berlari daripada terjebak ilusif dalam
realitas. Tetapi, topeng ini, pertunjukan ini, sampai kapan akan berakhir.
Kapan aku berhenti dari lariku.
Menurut rekan-rekanku di perkuliahan,
aku adalah manusia aneh, tak bisa dimengerti, bahkan ada yang menyebutku dengan
si gila. Namun, aku sadari itu,
sebagai mahasiswa di ilmu sosial dan ilmu politik bahan yang aku pelajari
berbeda dengan mahasiswa lainnya. Bahan bacaan aku tidak sesuai dengan
kurikulum yang aku pelajari. Begitupula dengan kerangka berpikirku. Kadang aku
berdebat dengan rekanku sekelas, bahkan dengan dosen. Pada akhirnya, aku akan
mengalah dalam perdebatan itu. Aku lebih baik berhenti berbicara daripada aku
akan terbawa bodohnya mereka. Mereka hanya mengerti mengenai teori-teori,
tetapi tidak untuk substansi. Aku merasa seperti menjadi manusia pemurah,
pemurah dalam mengalah. Mengalah untuk kalah. Biarkan mereka tertawa dalam
kebodohan. Biarkan aku menjadi seorang yang kalah oleh kebodohan. Disitulah aku
terkadang merasa menjadi lebih bodoh dari mereka. Bodoh karena tidak
melawan. Melawan kebodohan.
Terkadang, aku ingin sekali berhenti
diperkuliahan ini. Aku sudah bosan, aku sudah muak dengan segala omongkosong
ini. Tetapi, aku hanyalah seorang pengecut. Seorang yang tak berani melawan.
Hanya melawan di dalam pikiran. Itu lebih pengecut dari apa yang aku bayangkan.
Berpikir tanpa tindakan sama saja dengan seorang budak menyerahkan nyawa pada
seorang tuan. Berpikir tidak akan mengubah apapun. Kau pikirkan hidupmu, kau
pikirkan sekelilingmu, kau pikirkan segala hal dan itu tidak ada apa-apanya.
Hanya saja kau akan mati sia-sia. Tapi, aku tidak akan berdiam diri dan
mencegah semua itu terjadi. Segala bentuk pikiranku akan aku tulis. Agar
pikiranku bergentayangan dalam pikiran orang-orang. Aku akan merasa hidupku
tidak sia-sia ketika pikiranku sudah merasuki pikiran semua manusia. Mungkin
itu kegunaanku hidup di dunia. Orang akan berguna ketika menjadi penolong orang
lain. Tapi, aku rasa, aku bukan penolong yang baik. Penolong yang baik akan
mengorbankan hidup dan matinya hanya untuk oranglain. Namun, pada kenyataannya,
dalam hidup dan matiku, aku berpikir hanya untuk memikirkan orang lain. Apa itu
sudah seperti penolong? Aku tidak akan membiarkan pemikiranku membusuk dalam
pikiranku. Pikiranku akan abadi dalam pikiran orang lain. Oleh karena itu, aku
selalu menulis.
Seperti yang aku katakan sebelumnya. Dalam
hidupku, aku tidak bisa berhenti berpikir dan menyerah begitusaja apabila
permasalahan yang sedang aku cari jawabanya tidak bisa kutemukan. Selalu saja
aku memikirkannya. Otak ini, pikiranku, sungguh tidak dapat diam untuk tidak dapat berpikir. Menurut Rene
Descartes, seorang bapak filsuf modern mengatakan: cogito ergo sum yang artinya, aku berpikir maka aku ada. Oleh
karena itu, agar aku tetap ada maka aku harus tetap berpikir. Namun, karena aku
selalu memikirkan pikiranku, aku tak memikirkan keadaanku. Malam ini, ketika
aku akan memulai membuat novel ini, aku berkaca pada cermin. Rambutku sudah
hampir sebahu, kumisku sudah baplang dan janggutku sudah panjang dan lebat
hampir mirip seperti filsuf Karl Marx. Aku terlihat seperti orang berumur
limapuluh tahun, padahal umurku baru saja menginjak duapuluh tiga tahun.
Jalan hidupku masih panjang dan akan
panjang kalau saja aku tetap mencintai hidup di dunia. Berpikir saja tidak
cukup untuk menunjukan kita ada di dunia. Aku berpikir, aku hidup di dunia
karena aku senang menjalani hidup. Ada orang yang ingin mati dan tidak
mempunyai hasrat untuk hidup.itu karena
mereka tidak senang dengan hidupnya. Mereka kalah atau dikalahkan oleh kejamnya
dunia. Dan memilih untuk kembali tiada.
Aku suka dengan kedalaman. Aku suka
mencari dan menggali sampai aku menemukan dasarnya. Dasar dari ketertarikanku
untuk mencari dan menggali adalah dari sebuah keraguan dan rasa penasaran akan
sesuatu yang menjanggal pikiranku. Maka daripada itu, aku senang dengan
filsafat. Semakin dalam aku berpikir, semakin aku sesak dan kadang pusing. Aku
butuh oksigen untuk bernapas dan obat untuk meredakan rasa pusingku. Pernah aku
terjatuh dikursi karena seharian tak beranjak
dari tempat duduk. Kadang-kadang, saat aku berjalan di kampus sembari
membaca buku, tiba-tiba aku terjatuh karena pusing menyengat kepalaku.
Kondisiku sangat lemah, karena aku selalu memikirkan pikiranku tanpa
mengindahkan kondisi fisikku.
Suatu ketika diperkuliahan, dosen sedang
membacakan daftar hadir mahasiswa. Saat itu ada seorang mahasiswa yang mencela
ketika dosen menyebutkan namanya. Pada
saat itu pula ada sebuah perdebatan antara mahasiswa dengan dosen. Hanya
gara-gara penyebutan nama yang salah. Ini menjadi menarik, menurutku. Aku teringat
pada seorang sastrawan terbesar di Inggris, dia adalah William Shakespeare(1564-1616).
Banyak sekali karya-karya yang ditulis olehnya, seperti sandiwara tragedi,
komedi, sejarah dan puisi. Selain itu, karya-karyanya hadir dalam sebuah
teater. Banyak sekali kata-kata baru yang diciptakan olehnya. Namun, dalam
sebuah karya tragedinya yang legendaris, berjudul Romeo and Juliet mengatakan, “Apalah
arti sebuah nama,” ini menarik untuk diteliti karena nama hanyalah sebuah
kata. Kenapa sampai dipermasalahkan? Ada apa dari kata tersebut? Bagaimana
nama-nama ini bisa ada? Sejak kapan nama ini ada? Ini alasan mengapa aku
memulai untuk membuat sebuah tulisan yang berjudul The Philosophy of Name.
Ini merupakan sebuah kisah yang
menceritakan bagaimana aku mencari asal mula sebuah nama dan bagaimana nama ini
bisa dipakai oleh semua manusia. Mungkin terdengar sederhana. Tapi, dalam
memahami tersebut kita harus berpikir lebih mendalam dan akan menguras pikiran
kita. Semua ini, yang pada intinya akan membahas mengenai falsafah sebuah nama.
Pagi ini aku bangun. Tidak seperti kemarin-kemarin
yang dibangunkan oleh Ibu melulu. Bitulah hidup. Untuk saat ini, aku merasakan
hidup tak selalu lurus. Kita tinggal pilih jalan itu, terus berjalan kebawah
sampai kau masuk jurang atau kau mendaki dengan kaki-kaki yang kokoh untuk
sampai ke puncak. Jangan kau ambil jalan pintas. Terkadang memilih jalan pintas
itu akan membuat kita tersesat. Tetapi, lebih baik kita tempuh dengan pelan dan
mantap agar kita tahu bagaimana gerak kita. Kita bisa melihat keadaan kita,
kita bisa melihat situasi dijalan yang kita lalui. Dengan keringat atau mungkin
dengan darah, asal kita berjalan dengan benar, pertahankan dan perkokoh kakimu.
Aku tahu hal itu, aku baru mengerti ketika membaca buku catatan pribadi
mendiang kakakku. Tidak! Beliau belum tiada. Sebelum kutemukan batu nisannya,
beliau, aku anggap masih ada.
Novel yang aku baca semalam jatuh dari tempat
tidurku. Aku ambil novel itu dilantai, dan aku tatapi novel itu. Aneh! Aku
pikir ini bukan sekedar sebuah novel, ini seperti sebuah kisah nyata. Kisah
seorang mahasiswa. Ini juga tidak seperti novel-novel lainnya, ini novel
seperti sebuah karya ilmiah. Pantas saja novel ini dibaca oleh Vina. Novel ini
bukanlah novel fiksi. Tapi, kalau memang novel ini berkisah nyata dari penulis
tersebut, apa mungkin penulisnya masih ada? Seperti yang aku baca di bab I,
umurnya baru saja duapuluh tiga tahun.
“Ternyata kau sudah bangun, Ibu kira kau masih tidur,” Kata Ibu, yang sedang
berdiri di depan pintu.
“Iya, Bu. Masa aku harus dibangunkan Ibu terus sih,
kan malu sudah besar gini.”
“Baguslah, begitulah seharusnya, Nak.”
***
Hari ini aku kembali ke kampus dengan membawa
suasana misteri. Novel itu yang membuat aku begini. Misteri selalu saja membuat
orang terbawa dalam dunia khayal mimpi. Orang akan sering menduga-duga,
mengira-ngira, mencari jawaban dari sebuah teka-teki yang belum tentu benar.
Semua yang dilakukan untuk memecahkan sebuah misteri itu hanya dalam khayal
ketika kau berdiam dan masuk dalam mimpi. Seperti hidup ini, seperti mimpi.
Kita hanya berdiam dan tak pernah bangun
dari mimpi, itu sama saja hidup kita hanyalah misteri. Aku tidak mau adanya
sebuah misteri dalam hidup ini. Aku harus berdiri tegak, dan mulai mencari.
Banyak sekali hal-hal yang ingin aku ketahui
mengenai novel yang aneh ini. Aku mencoba untuk memperhatikan novel ini. Dan
aku berpikir, sebaiknya aku tanyakan saja kepada Vina. Ya! Sebaiknya seperti
itu.
Sesampainya di depan kampus, aku
melihat Vina sedang berjalan sendirian. Aku langsung saja menghampirinya.
“Selamat pagi, Vina,” kataku,
sembari melirik-lirik disekeliling kami. “Kamu sendirian saja?”
“Memangnya kenapa kalau aku jalan
sendirian, Laila?” Vina tersenyum kemudian meliri-lirik di sekeliling juga, “Ooh,
aku mengerti. Dia itu tidak pernah ke
kampus bareng denganku, Laila.”
“Dia itu siapa, Vina?”
“Jangan pura-pura tidak tahu kamu, Laila.”
Aku tertunduk malu. Dan Vina hanya tersenyum-senyum.
“Vin, boleh aku tanya sesuatu?”
“Apa, Laila? Mengenai dia, yah?”
“Bukan, Vin. Sudahlah, jangan kamu mengolok-olok aku
seperti itu. Ini soal novel yang kamu pinjamkan kemarin.”
“Kamu sudah baca novelnya, Laila? Mau tanya soal
apa?”
“Aku baru baca Tentang
Sebuah Ketertarikan, Vin. Aku mau tanya, sebenarnya kamu dapat dari mana
novel ini. Kammuuu... gaak..”
“Gak apa, Laila? Ooo.. jangan-jangan kamu berpikir
aku mencuri novel ini seperti si penulis novel itu? Tidak, Laila, tidak! kamu
salah! Kenapa kamu menilaiku seperti itu? Apakah aku seperti orang jahat?”
Vina mengencangkan langkah kakinya. Aku coba untuk
mengejar langkahnya. Aku tak mau terjadi kesalahpahaman. Tak enak juga aku
kepada Vina. Tak seharusnya aku berkata seperti itu. Dia itu sudah meminjamkan
novelnya itu kepadaku.
“Bukan seperti itu, Vin. Maafin aku, aku gak
bermaksud seperti itu, Vin.”
Vina berhenti di depan pintu kelas dan menatapku.
Tatapannya begitu menyeramkan, tatapan dengan raut wajah antar kesal dan marah.
Pertama kali aku melihat raut wajah Vina seperti ini. Biasanya aku melihat Vina
tersenyum terus. Namun, tatapan itu berubah dengan sekejah menjadi sebuah
senyuman, seperti senyuman yang sering aku lihat pada Vina.
“Kalau memang jendela itu terkunci, kita dobrak
saja,” Vina tertawa. Aku ikut tertawa juga.
Kami masuk kedalam kelas. Seperti kemarin, kelas
masih kosong. Hanya kami berdua dengan kursi-kursi dan papan tulis yang
menyaksikan kami duduk berdampingan.
“Kamu tahu, Laila, Buku itu aku dapatkan di toko
buku bekas. Namanya juga toko buku bekas, pasti bukunya tidak baru lagi dan
agak lecek, juga terlihat kuno. Saat aku lihat novel itu segera aku membelinya.
Nanti, kapan-kapan aku ajak kamu ketempat toko buku bekas itu. Nanti kamu akan
menyaksikan banyaknya buku-buku yang di perjual-belikan.”
“Ooo, seperti itu. Vin, Ending novel itu bagaimana?”
“Hihihi, kamu mau tau Endingnya, Laila? Baca saja sama kamu sampai selesai, Laila. Lagian
gak seru kalau aku kasih tahu sebelumnya. Biar kamu penasaran.”
“Ayo dong, Vin, kasih tahu. Aku baca sedikit saja
sudah penasaran, Vin.”
“Pastinya, Laila. Dulu, saat aku pertama kali baca
novel itu, aku gak bisa tidur semalaman.”
“Iya, Vin. Novel ini sangat misterius sekali.
Kira-kira, novel ini dibuat sekitar tahun berapa, yah, Vin.”
“Tidak tahu aku, Laila. Dulu aku sempat
bertanya-tanya seperti itu. Kalau memang buku ini bukan fiksi, mungkin saja
orangnya masih ada.”
“Iya, Vin, aku juga berpikiran seperti itu. Tapi,
Vin, aku baru tahu kalau ada novel seperti ini. Ini bukan sembarang novel, ini
seperti karya ilmiah.”
“Betul sekali, Laila. Inilah kelebihan dari novel
itu. Kita tidak hanya mengetahui alur cerita atau karakter dari tokoh-tokoh
dalam novel tersebut, atau kita hanya terbawa arus suasana sedih atau gembira
dalam sebuah novel. Tapi, di novel ini, kita akan mengetahui sesuatu yang belum
kita ketahui, inilah yang disebut dengan pengetahuan. Novel ini mencoba agar
pembacanya berpikir, mungkin kita akan sedikit bingung atau pusing, bahkan
tidak mengerti sama sekali. Karena, novel ini menyajikan kedalaman pemikiran
sang penulis.”
“Hebat juga, yah, Vin, penulis novel ini. Aku jadi
ingin tahu wajahnya seperti apa. Aku
penasaran. Aku jadi ingin membaca lagi novel ini. Bagaimana, yah,
kelanjutannya. Kamu sih, Vin, gak mau kasih aku bocoran mengenai novel ini.”
Vina tersenyum-senyum.
“Kalau tahu orangnya, kamu mau ngapain, Laila?”
“Umm.. mau berbincang-bincang aja.”
“Lagian kita tidak tahu kalau penulis ini perempuan
atau laki-laki.”
“Tapi kan, kalau dalam tokoh novel itu laki-laki.”
“Tapi, bisa juga kan si penulisnya perempuan,
kemudian dia menggunakan tokoh laki-laki.”
“ Umm.. iya juga sih. Tapi, kenapa dia menggunakan
tokoh yang bukan dirinya?”
“Mungkin saja dia gak mau ketahuan kalau yang
menulis itu dia.”
“Apa dia malu, Vin?”
“Bisa jadi. Tapi, kenpa dia harus malu?”
“Taulah, Vin, aku gak ngerti juga.”
Aku semakin tertarik untuk membaca buku temanku ini.
Entah kenapa aku merasakan seperti buku ini berbicara. Membisikan kepada hatiku
agar aku kembali membacanya sampai selesai. Dan aku mengiyakan itu. Mau
bagaimana lagi, aku sudah terlanjur membacanya. Aku takut semua akan menjadi
misteri. Oleh karena itu, aku akan membacanya lagi, Bersambung...