Home » » Laila Sulami, Bagian IV: The Philosophy of Name: Tentang Sebuah Ketertarikan

Laila Sulami, Bagian IV: The Philosophy of Name: Tentang Sebuah Ketertarikan


Sejarah tidak akan pernah ada tanpa adanya  sastra, sastra tidak akan terwujud tanpa adanya bahasa, bahasa tidak akan pernah ada tanpa adanya manusia. Manusia merupakan mahluk yang membutuhkan ketiga hal ini untuk menunjukan eksistensinya dimuka bumi”
Aku balikan selembar kertas yang bertuliskan The Philosophy of Name, Kemudian, mulailah aku membaca dari bab I berjudul: Tentang Sebuah Ketertarikan.
Keseharianku tak lepas dari membaca buku. Banyak sekali buku yang aku miliki dirumah. Mungkin ada sekitar seribu buku, hanya saja aku tak hitung semuanya. Terkadang aku baca buku diperpustakaan umum. Namun, akhir-akhir ini aku tak pernah mengunjungi perpustakaan umum lagi. Itu karena aku sudah di cap sebagai pencuri buku. Yang terakhir, yang ketiga kali, saat aku ketahuan mengambil buku, aku dihukum oleh pihak perpustakaan dengan sanksi membersihkan rak-rak buku. Butuh seminggu untuk membersihkan semua buku-buku di rak.
Mungkin ada sekitar seratus buku yang aku ambil dan hanya tiga kali aku ketahuan. Buku-buku yang aku ambil kebanyakan buku-buku kuno. Aku kesal dengan perpustakaan ini, buku itu tujuannya untuk dibaca agar pembaca mengetahui isi dari buku tersebut. Akan tetapi, buku itu hanya menjadi pajangan dietalase-etalase seperti di museum. Bagaimana kita tahu isi buku itu kalau hanya dilihat dari tampilan luar buku itu saja. Aku terpaksa mengambil buku kuno itu karena aku butuh isinya. Soal bukunya itu tidak penting, buku itu hanyalah lembaran kertas, yang terpenting adalah isinya.
Katanya buku itu adalah jendelanya dunia dan kuncinya adalah membaca. Bagaimana kita bisa membaca kalau jendelanya terkunci, ya harus bagaimana lagi, kita dobrak saja. Biasanya, buku yang aku ambil dari perpus itu aku kembalikan lagi kalau aku sudah tahu dan aku pelajari isi dari buku tersebut. Hanya saja, sebelum aku ketahuan mengambil buku, mereka sudah menyadarinya terlebih dahulu. Semua petugas perpustakaan mengenal aku, karena mereka tahu betul bagaimana ulahku diperpus. Aku selalu dicurigai dan dipantau saat aku berada di dalam perpus. Ini membuat aku tidak nyaman untuk membaca. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak ke perpus dulu.
Studi bahasa, sejarah dan sastra merupakan bagian daripada hidupku. Kau tahu? Sejarah tidak akan pernah ada tanpa adanya  sastra, sastra tidak akan terwujud tanpa adanya bahasa, bahasa tidak akan pernah ada tanpa adanya manusia. Manusia merupakan mahluk yang membutuhkan ketiga hal ini untuk menunjukan eksistensinya dimuka bumi. Dengan bahasa, manusia berhubungan dengan sesamanya, sastra sebagai medianya dan sejarah merupakan hasilnya. Sudah barang tentu manusia merupakan mahluk sosial. Kalau bukan, mungkin manusia tak memerlukan bahasa.
Seperti burung dalam sangkar, begitulah aku. Seorang yang dipaksakan menjadi orang lain;  dipaksakan  memakai topeng. Topeng ini menghalangi gerakanku, bahkan akan mengaburkan pandanganku. Aku menjadi seorang wayang dan bertingkah laku seperti topeng yang aku kenakan. Tapi, topeng ini tidak mengubah jatidiriku. Jatidiri tidak akan berubah oleh apapun. Topeng ini akan aku lepaskan ketika panggung sandiwara telah selesai dan aku kenakan kembali ketika memulai pertunjukan.
Aku dikuliahkan oleh orangtuaku agar menjadi seorang politisi sepertinya. Mereka merebut kebebasanku. Tetapi tidak untuk pemikiranku. Burung yang terjebak dalam sangkar dapat menggunakan paruhnya untuk dapat bebas dan terbang dilangit luas. Mengepakan sayap-sayapnya dan merasakan udara kebebasan. Mereka tidak akan tahu keadaanku bagaimana, mereka tidak peduli, dalam pikiran mereka hanyalah aku yang akan meneruskan kedudukannya. Lebih baik aku pergi dan berlari daripada terjebak ilusif dalam realitas. Tetapi, topeng ini, pertunjukan ini, sampai kapan akan berakhir. Kapan aku berhenti dari lariku.
Menurut rekan-rekanku di perkuliahan, aku adalah manusia aneh, tak bisa dimengerti, bahkan ada yang menyebutku dengan si gila. Namun, aku sadari itu, sebagai mahasiswa di ilmu sosial dan ilmu politik bahan yang aku pelajari berbeda dengan mahasiswa lainnya. Bahan bacaan aku tidak sesuai dengan kurikulum yang aku pelajari. Begitupula dengan kerangka berpikirku. Kadang aku berdebat dengan rekanku sekelas, bahkan dengan dosen. Pada akhirnya, aku akan mengalah dalam perdebatan itu. Aku lebih baik berhenti berbicara daripada aku akan terbawa bodohnya mereka. Mereka hanya mengerti mengenai teori-teori, tetapi tidak untuk substansi. Aku merasa seperti menjadi manusia pemurah, pemurah dalam mengalah. Mengalah untuk kalah. Biarkan mereka tertawa dalam kebodohan. Biarkan aku menjadi seorang yang kalah oleh kebodohan. Disitulah aku terkadang merasa menjadi lebih bodoh dari mereka. Bodoh karena tidak melawan.  Melawan kebodohan.
Terkadang, aku ingin sekali berhenti diperkuliahan ini. Aku sudah bosan, aku sudah muak dengan segala omongkosong ini. Tetapi, aku hanyalah seorang pengecut. Seorang yang tak berani melawan. Hanya melawan di dalam pikiran. Itu lebih pengecut dari apa yang aku bayangkan. Berpikir tanpa tindakan sama saja dengan seorang budak menyerahkan nyawa pada seorang tuan. Berpikir tidak akan mengubah apapun. Kau pikirkan hidupmu, kau pikirkan sekelilingmu, kau pikirkan segala hal dan itu tidak ada apa-apanya. Hanya saja kau akan mati sia-sia. Tapi, aku tidak akan berdiam diri dan mencegah semua itu terjadi. Segala bentuk pikiranku akan aku tulis. Agar pikiranku bergentayangan dalam pikiran orang-orang. Aku akan merasa hidupku tidak sia-sia ketika pikiranku sudah merasuki pikiran semua manusia. Mungkin itu kegunaanku hidup di dunia. Orang akan berguna ketika menjadi penolong orang lain. Tapi, aku rasa, aku bukan penolong yang baik. Penolong yang baik akan mengorbankan hidup dan matinya hanya untuk oranglain. Namun, pada kenyataannya, dalam hidup dan matiku, aku berpikir hanya untuk memikirkan orang lain. Apa itu sudah seperti penolong? Aku tidak akan membiarkan pemikiranku membusuk dalam pikiranku. Pikiranku akan abadi dalam pikiran orang lain. Oleh karena itu, aku selalu menulis.
Seperti yang aku katakan sebelumnya. Dalam hidupku, aku tidak bisa berhenti berpikir dan menyerah begitusaja apabila permasalahan yang sedang aku cari jawabanya tidak bisa kutemukan. Selalu saja aku memikirkannya. Otak ini, pikiranku, sungguh tidak dapat diam  untuk tidak dapat berpikir. Menurut Rene Descartes, seorang bapak filsuf modern mengatakan: cogito ergo sum yang artinya, aku berpikir maka aku ada. Oleh karena itu, agar aku tetap ada maka aku harus tetap berpikir. Namun, karena aku selalu memikirkan pikiranku, aku tak memikirkan keadaanku. Malam ini, ketika aku akan memulai membuat novel ini, aku berkaca pada cermin. Rambutku sudah hampir sebahu, kumisku sudah baplang dan janggutku sudah panjang dan lebat hampir mirip seperti filsuf Karl Marx. Aku terlihat seperti orang berumur limapuluh tahun, padahal umurku baru saja menginjak duapuluh tiga tahun.
Jalan hidupku masih panjang dan akan panjang kalau saja aku tetap mencintai hidup di dunia. Berpikir saja tidak cukup untuk menunjukan kita ada di dunia. Aku berpikir, aku hidup di dunia karena aku senang menjalani hidup. Ada orang yang ingin mati dan tidak mempunyai hasrat untuk hidup.itu  karena mereka tidak senang dengan hidupnya. Mereka kalah atau dikalahkan oleh kejamnya dunia. Dan memilih untuk kembali tiada.
Aku suka dengan kedalaman. Aku suka mencari dan menggali sampai aku menemukan dasarnya. Dasar dari ketertarikanku untuk mencari dan menggali adalah dari sebuah keraguan dan rasa penasaran akan sesuatu yang menjanggal pikiranku. Maka daripada itu, aku senang dengan filsafat. Semakin dalam aku berpikir, semakin aku sesak dan kadang pusing. Aku butuh oksigen untuk bernapas dan obat untuk meredakan rasa pusingku. Pernah aku terjatuh dikursi karena seharian tak beranjak  dari tempat duduk. Kadang-kadang, saat aku berjalan di kampus sembari membaca buku, tiba-tiba aku terjatuh karena pusing menyengat kepalaku. Kondisiku sangat lemah, karena aku selalu memikirkan pikiranku tanpa mengindahkan kondisi fisikku.
Suatu ketika diperkuliahan, dosen sedang membacakan daftar hadir mahasiswa. Saat itu ada seorang mahasiswa yang mencela ketika dosen menyebutkan namanya.  Pada saat itu pula ada sebuah perdebatan antara mahasiswa dengan dosen. Hanya gara-gara penyebutan nama yang salah. Ini menjadi menarik, menurutku. Aku teringat pada seorang sastrawan terbesar di Inggris, dia adalah William Shakespeare(1564-1616). Banyak sekali karya-karya yang ditulis olehnya, seperti sandiwara tragedi, komedi, sejarah dan puisi. Selain itu, karya-karyanya hadir dalam sebuah teater. Banyak sekali kata-kata baru yang diciptakan olehnya. Namun, dalam sebuah karya tragedinya yang legendaris, berjudul Romeo and Juliet mengatakan, “Apalah arti sebuah nama,” ini menarik untuk diteliti karena nama hanyalah sebuah kata. Kenapa sampai dipermasalahkan? Ada apa dari kata tersebut? Bagaimana nama-nama ini bisa ada? Sejak kapan nama ini ada? Ini alasan mengapa aku memulai untuk membuat sebuah tulisan yang berjudul The Philosophy of Name.
Ini merupakan sebuah kisah yang menceritakan bagaimana aku mencari asal mula sebuah nama dan bagaimana nama ini bisa dipakai oleh semua manusia. Mungkin terdengar sederhana. Tapi, dalam memahami tersebut kita harus berpikir lebih mendalam dan akan menguras pikiran kita. Semua ini, yang pada intinya akan membahas mengenai falsafah sebuah nama.
Pagi ini aku bangun. Tidak seperti kemarin-kemarin yang dibangunkan oleh Ibu melulu. Bitulah hidup. Untuk saat ini, aku merasakan hidup tak selalu lurus. Kita tinggal pilih jalan itu, terus berjalan kebawah sampai kau masuk jurang atau kau mendaki dengan kaki-kaki yang kokoh untuk sampai ke puncak. Jangan kau ambil jalan pintas. Terkadang memilih jalan pintas itu akan membuat kita tersesat. Tetapi, lebih baik kita tempuh dengan pelan dan mantap agar kita tahu bagaimana gerak kita. Kita bisa melihat keadaan kita, kita bisa melihat situasi dijalan yang kita lalui. Dengan keringat atau mungkin dengan darah, asal kita berjalan dengan benar, pertahankan dan perkokoh kakimu. Aku tahu hal itu, aku baru mengerti ketika membaca buku catatan pribadi mendiang kakakku. Tidak! Beliau belum tiada. Sebelum kutemukan batu nisannya, beliau, aku anggap masih ada.
Novel yang aku baca semalam jatuh dari tempat tidurku. Aku ambil novel itu dilantai, dan aku tatapi novel itu. Aneh! Aku pikir ini bukan sekedar sebuah novel, ini seperti sebuah kisah nyata. Kisah seorang mahasiswa. Ini juga tidak seperti novel-novel lainnya, ini novel seperti sebuah karya ilmiah. Pantas saja novel ini dibaca oleh Vina. Novel ini bukanlah novel fiksi. Tapi, kalau memang novel ini berkisah nyata dari penulis tersebut, apa mungkin penulisnya masih ada? Seperti yang aku baca di bab I, umurnya baru saja duapuluh tiga tahun.
“Ternyata kau sudah bangun, Ibu kira  kau masih tidur,” Kata Ibu, yang sedang berdiri di depan pintu.
“Iya, Bu. Masa aku harus dibangunkan Ibu terus sih, kan malu sudah besar gini.”
“Baguslah, begitulah seharusnya, Nak.”
***
Hari ini aku kembali ke kampus dengan membawa suasana misteri. Novel itu yang membuat aku begini. Misteri selalu saja membuat orang terbawa dalam dunia khayal mimpi. Orang akan sering menduga-duga, mengira-ngira, mencari jawaban dari sebuah teka-teki yang belum tentu benar. Semua yang dilakukan untuk memecahkan sebuah misteri itu hanya dalam khayal ketika kau berdiam dan masuk dalam mimpi. Seperti hidup ini, seperti mimpi. Kita hanya berdiam  dan tak pernah bangun dari mimpi, itu sama saja hidup kita hanyalah misteri. Aku tidak mau adanya sebuah misteri dalam hidup ini. Aku harus berdiri tegak, dan mulai mencari.
Banyak sekali hal-hal yang ingin aku ketahui mengenai novel yang aneh ini. Aku mencoba untuk memperhatikan novel ini. Dan aku berpikir, sebaiknya aku tanyakan saja kepada Vina. Ya! Sebaiknya seperti itu.
            Sesampainya di depan kampus, aku melihat Vina sedang berjalan sendirian. Aku langsung saja menghampirinya.
            “Selamat pagi, Vina,” kataku, sembari melirik-lirik disekeliling kami. “Kamu sendirian saja?”
            “Memangnya kenapa kalau aku jalan sendirian, Laila?” Vina tersenyum kemudian meliri-lirik di sekeliling juga, “Ooh, aku mengerti. Dia itu tidak pernah  ke kampus bareng denganku, Laila.”
            “Dia itu siapa, Vina?”
“Jangan pura-pura tidak tahu kamu, Laila.”
Aku tertunduk malu. Dan Vina hanya tersenyum-senyum.
“Vin, boleh aku tanya sesuatu?”
“Apa, Laila? Mengenai dia, yah?”
“Bukan, Vin. Sudahlah, jangan kamu mengolok-olok aku seperti itu. Ini soal novel yang kamu pinjamkan kemarin.”
“Kamu sudah baca novelnya, Laila? Mau tanya soal apa?”
“Aku baru baca Tentang Sebuah Ketertarikan, Vin. Aku mau tanya, sebenarnya kamu dapat dari mana novel ini. Kammuuu... gaak..”
“Gak apa, Laila? Ooo.. jangan-jangan kamu berpikir aku mencuri novel ini seperti si penulis novel itu? Tidak, Laila, tidak! kamu salah! Kenapa kamu menilaiku seperti itu? Apakah aku seperti orang jahat?”
Vina mengencangkan langkah kakinya. Aku coba untuk mengejar langkahnya. Aku tak mau terjadi kesalahpahaman. Tak enak juga aku kepada Vina. Tak seharusnya aku berkata seperti itu. Dia itu sudah meminjamkan novelnya itu kepadaku.
“Bukan seperti itu, Vin. Maafin aku, aku gak bermaksud seperti itu, Vin.”
Vina berhenti di depan pintu kelas dan menatapku. Tatapannya begitu menyeramkan, tatapan dengan raut wajah antar kesal dan marah. Pertama kali aku melihat raut wajah Vina seperti ini. Biasanya aku melihat Vina tersenyum terus. Namun, tatapan itu berubah dengan sekejah menjadi sebuah senyuman, seperti senyuman yang sering aku lihat pada Vina.
“Kalau memang jendela itu terkunci, kita dobrak saja,” Vina tertawa. Aku ikut tertawa juga.
Kami masuk kedalam kelas. Seperti kemarin, kelas masih kosong. Hanya kami berdua dengan kursi-kursi dan papan tulis yang menyaksikan kami duduk berdampingan.
“Kamu tahu, Laila, Buku itu aku dapatkan di toko buku bekas. Namanya juga toko buku bekas, pasti bukunya tidak baru lagi dan agak lecek, juga terlihat kuno. Saat aku lihat novel itu segera aku membelinya. Nanti, kapan-kapan aku ajak kamu ketempat toko buku bekas itu. Nanti kamu akan menyaksikan banyaknya buku-buku yang di perjual-belikan.”
“Ooo, seperti itu. Vin, Ending novel itu bagaimana?”
“Hihihi, kamu mau tau Endingnya, Laila? Baca saja sama kamu sampai selesai, Laila. Lagian gak seru kalau aku kasih tahu sebelumnya. Biar kamu penasaran.”
“Ayo dong, Vin, kasih tahu. Aku baca sedikit saja sudah penasaran, Vin.”
“Pastinya, Laila. Dulu, saat aku pertama kali baca novel itu, aku gak bisa tidur semalaman.”
“Iya, Vin. Novel ini sangat misterius sekali. Kira-kira, novel ini dibuat sekitar tahun berapa, yah, Vin.”
“Tidak tahu aku, Laila. Dulu aku sempat bertanya-tanya seperti itu. Kalau memang buku ini bukan fiksi, mungkin saja orangnya masih ada.”
“Iya, Vin, aku juga berpikiran seperti itu. Tapi, Vin, aku baru tahu kalau ada novel seperti ini. Ini bukan sembarang novel, ini seperti karya ilmiah.”
“Betul sekali, Laila. Inilah kelebihan dari novel itu. Kita tidak hanya mengetahui alur cerita atau karakter dari tokoh-tokoh dalam novel tersebut, atau kita hanya terbawa arus suasana sedih atau gembira dalam sebuah novel. Tapi, di novel ini, kita akan mengetahui sesuatu yang belum kita ketahui, inilah yang disebut dengan pengetahuan. Novel ini mencoba agar pembacanya berpikir, mungkin kita akan sedikit bingung atau pusing, bahkan tidak mengerti sama sekali. Karena, novel ini menyajikan kedalaman pemikiran sang penulis.”
“Hebat juga, yah, Vin, penulis novel ini. Aku jadi ingin tahu wajahnya seperti apa. Aku  penasaran. Aku jadi ingin membaca lagi novel ini. Bagaimana, yah, kelanjutannya. Kamu sih, Vin, gak mau kasih aku bocoran mengenai novel ini.”
Vina tersenyum-senyum.
“Kalau tahu orangnya, kamu mau ngapain, Laila?”
“Umm.. mau berbincang-bincang aja.”
“Lagian kita tidak tahu kalau penulis ini perempuan atau laki-laki.”
“Tapi kan, kalau dalam tokoh novel itu laki-laki.”
“Tapi, bisa juga kan si penulisnya perempuan, kemudian dia menggunakan tokoh laki-laki.”
“ Umm.. iya juga sih. Tapi, kenapa dia menggunakan tokoh yang bukan dirinya?”
“Mungkin saja dia gak mau ketahuan kalau yang menulis itu dia.”
“Apa dia malu, Vin?”
“Bisa jadi. Tapi, kenpa dia harus malu?”
“Taulah, Vin, aku gak ngerti juga.”
Aku semakin tertarik untuk membaca buku temanku ini. Entah kenapa aku merasakan seperti buku ini berbicara. Membisikan kepada hatiku agar aku kembali membacanya sampai selesai. Dan aku mengiyakan itu. Mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur membacanya. Aku takut semua akan menjadi misteri. Oleh karena itu, aku akan membacanya lagi, Bersambung...


PENGETAHUAN

BERITA TERKINI