Seperti biasanya, ketika hari raya idul fitri, di kampungku selalu mengadakan perlombaan. Banyak sekali macam-macam perlombaan dalam memeriahkan hari kemenangan. Perlombaan itu untuk anak-anak: laki-laki atau perempuan, ibu-ibu, bapak-bapak dan para pemuda. Khusus untuk para pemuda, seperti biasa mengadakan panjat pinang atau sering disebut disini rebutan. Perlombaan rebutan adalah perlombaan yang mengandalkan kekompakan, kerjasama dan kekuatan. Hadiah rebutan bermacam-macam, mulai dari kaos, celana dalam, sandal, dll. Seperti biasanya, aku menjadi panitia hari raya. Sebagai panitia, aku ditugaskan untuk membeli kebutuhan perlombaan, yaitu membeli hadiah-hadiah rebutan. Dan akhirnya, aku dan temanku belanja ke pasar Rangkasbitung-Lebak.
Dalam suasana puasa, disiang yang panas itu kami mengitari pasar rangkas yang sesak dengan orang-orang yang membeli kebutuhan sehari-hari atau keperluan untuk menyambut hari raya. Di hari H-6 itu, orang-orang banyak menyerbu toko-toko baju. Sudah barang pasti bahwa lebaran belum pas kalau belum membeli baju baru. Itulah tradisi tahunan orang muslim di Indonesia.
Capek berkeliling mencari barang untuk hadiah yang belum dapat semuanya, akhirnya kami kebingungan dan memutuskan istirahat sejenak. Kami berdiri di atas tangga di depan toko baju. Melilhat disekeliling penuh dengan orang-orang yang hilir mudik. Aku memperhatikan seseorang yang sedang menjual dan servis jam tangan. Pedagang itu melamun memperhatikan tempat jualannya yang berukuran 1/2M x 1/2M. Tiba-tiba datang seorang bapak-bapak barang 45 tahunan membawa sebuah jam dinding.
"Pak, jam urang paeh yeuh, coba hadekeun." kata bapak-bapak itu dengan sedikit senyuman.
"Coba kadieu urang tempo heula." kata tukang servis itu. kemudian bapak-bapak yang mengenakan kaos warna abu-abu itu menyerahkan jam dinding dengan bingkai warna merah ke tukang servis jam tangan.
"Paeh mereun batrena?" si tukang servis itu mengotak-ngatik jam dinding.
"Atuh teuing, pak. Coba jajal pake batre tidieu."
"Tidieu mah eweuh batre jam dinding, aya geh batre jam tangan, meli hela tah dinga, ka harep." tukang servis itu menunjuk tempat penjual baterai. Dengan membawa baterai yang mati sebagai contoh, akhirnya si bapak itu, yang mengenakan sandal jepit berwarna hijau, dengan sedikit bingung berjalan untuk membeli baterai.
Capek berkeliling mencari barang untuk hadiah yang belum dapat semuanya, akhirnya kami kebingungan dan memutuskan istirahat sejenak. Kami berdiri di atas tangga di depan toko baju. Melilhat disekeliling penuh dengan orang-orang yang hilir mudik. Aku memperhatikan seseorang yang sedang menjual dan servis jam tangan. Pedagang itu melamun memperhatikan tempat jualannya yang berukuran 1/2M x 1/2M. Tiba-tiba datang seorang bapak-bapak barang 45 tahunan membawa sebuah jam dinding.
"Pak, jam urang paeh yeuh, coba hadekeun." kata bapak-bapak itu dengan sedikit senyuman.
"Coba kadieu urang tempo heula." kata tukang servis itu. kemudian bapak-bapak yang mengenakan kaos warna abu-abu itu menyerahkan jam dinding dengan bingkai warna merah ke tukang servis jam tangan.
"Paeh mereun batrena?" si tukang servis itu mengotak-ngatik jam dinding.
"Atuh teuing, pak. Coba jajal pake batre tidieu."
"Tidieu mah eweuh batre jam dinding, aya geh batre jam tangan, meli hela tah dinga, ka harep." tukang servis itu menunjuk tempat penjual baterai. Dengan membawa baterai yang mati sebagai contoh, akhirnya si bapak itu, yang mengenakan sandal jepit berwarna hijau, dengan sedikit bingung berjalan untuk membeli baterai.
Sembari menunggu si bapak itu membeli baterai, si tukang servis membongkar jam dinding itu. Jam dinding itu bergambar micky mouse dengan background berwarna pink. Kemudian, si tukang servis itu mengambil obeng dan membalikan jam dinding. Nampak jam dinding itu sudah rusak dengan lubang yang cukup besar di bagian pinggir belakang. Mungkin karena jatuh sampai pecah seperti itu.
si bapak itu datang lagi dengan masih memegang baterai yang mati.
"Keheula, pak. Urang neangan batre heula, tidinga mah eweuh." si bapak itu berjalan dengan terburu-buru mencari pedagang baterai lagi. Nampak si bapak itu tambah kebingungan diantara orang-orang yang ramai berlalu-lalang.
"Keheula, pak. Urang neangan batre heula, tidinga mah eweuh." si bapak itu berjalan dengan terburu-buru mencari pedagang baterai lagi. Nampak si bapak itu tambah kebingungan diantara orang-orang yang ramai berlalu-lalang.
Dalam hati aku berkata, "Ah... diantara orang-orang yang sedang ramai memborong baju baru, ternyata masih ada orang yang belum kebeli jam dinding baru. Padahal itu jam udah pecah seperti itu." sembari memperhatikan si tukang servis yang sudah membongkar mesin jam dinding itu, aku terus berkata dalam hati.
"Jam dinding berapa, sih. Paling barang 20 ribu yang murah, yah, yang agak bagusan paling 35 ribu. Di sekre aja gak ada jam dinding, kini sudah ada handphone jadi mudah melihat waktu. Dirumah banyak jam dinding yang rusak dan belum pernah di servis, malah jam dinding itu hanya dijadikan hiasan dinding saja tanpa ada fungsinya."
"Jam dinding berapa, sih. Paling barang 20 ribu yang murah, yah, yang agak bagusan paling 35 ribu. Di sekre aja gak ada jam dinding, kini sudah ada handphone jadi mudah melihat waktu. Dirumah banyak jam dinding yang rusak dan belum pernah di servis, malah jam dinding itu hanya dijadikan hiasan dinding saja tanpa ada fungsinya."
Mataku berkaca-kaca, hatiku lemas dan tak bisa berkata apa-apa lagi.
Di pasar Rangkasbitung ini, yang ramai dibanjiri orang-orang yang membeli baju baru untuk hari raya, ada seseorang yang entah datang dari daerah mana membawa jam dinding mati kepasar untuk diperbaiki. Aku berdiri cukup lama disitu, dan si bapak itu belum kembali dengan membawa baterai yang baru. Temanku mengajak untuk berjalan lagi. Aku pun meninggalkan tempat itu. Aku berjalan dan kembali berdesak-desakan. hatiku berkata, "Semoga jam dinding itu hidup kembali."